Slamet jalan, mas: A belated farewell to Slamet Sjukur


'Being a composer is amusing; no one cares about his living or his usefulness.' 
- Slamet Sjukur, October 2009

I had the pleasure of meeting the most intriguing Asian composer some years back, Indonesian veteran Slamet Sjukur. Unlike many, he had no airs about him, and did not think of himself as particularly important or notable to the new music profession.

We met twice, once in Wellington in 2007 and later when I invited him to come to Kuala Lumpur for the KLCMF 09 but Slamet spoke as if we had always been old friends.

For one, I was curious yet taken by his penchant for insisting I address him as 'mas' instead of 'pak', the respectful term for Indonesians. And he always started his correspondence with 'Mas Loh yang tercinta' (My beloved friend). And old world grace that many of us have forgotten, or do not even know.

We kept in touch through email, and I always enjoyed his witty insights even on brief messages.

The last we wrote, he was working to make Jakarta a more pleasant, noise free city. Masyarakat Bebas Bising (A society free from noise) was his pet preoccupation, noting the amount of noise of all sorts, white noise of daily life or the subtler, more insidious internet noises, jarring sounds from which you hear the wind calling, the malicious whispers of inner voices, the noise of idle chatter and vain pursuits, made life less pleasant and it was his prime mission above all, to make living a harmonious experience.

Sadly I learned of Slamet's passing only this month while researching for an article. No one had mentioned his death to me in the past year, no messages of sorrow or regret as was accorded some others, like dear Jack Body, which I felt was regrettable.

With the passing of Jack and Slamet all in one year, without doubt our Asia-Pacific community has lost two towering figures, the most humane composers whose presence had constantly reminded composers what the true meaning of the craft is, and to be sure, the community still needs their constant reminder constantly.

To both, composing was an act of love, not one made out of other motivations such as position, power, recognition and adulation, none of which holds any real significance at all in the eyes of the larger world outside the composers' community.

Ironically I had just dug up an interview I had done with Slamet early in our acquaintance, precisely seven years ago this month, and reading it again was a joy that brought a smile back to my face for several days after.

Slamet had no pretensions about the importance (or rather, unimportance) of composers, and his words have never left my memory: "Being a composer in Indonesia is amusing; no one cares about his living or his usefulness. He is free to be a prophet or a bandit."

This quote came after he described democracy thus: "I am for democracy, but reserved concerning the value of majority. History has taught us that there were, and still are, more bandits than prophets."

Quite apt at a time when America struggles with the unenviable task of having to choose between Donald Trump and Hillary Clinton as their next president.

And so too for those of us who still need reminding, lest we believe we are prophets or worse, end up being bandits while professing, "Vissi d'arte."

Slamet Sjukur passed away in March 2015, shortly after his 80th birthday. Slamet jalan, dear friend.

- CH Loh Oct 2016 

Related:

'Of Prophets And Bandits - An interview with Off The Edge'


Slamet Abdul Sjukur tutup usia, selamatjalan pionir musik kontemporer Indonesia



24 Maret 2015 Slamet Abdul Sjukur tutup usia, selamat jalan pionir musik kontemporer Indonesia – Dunia hiburan tanah air kembali berduka.

Seorang komponis, Slamet Abdul Sjukur meninggal dunia, Selasa (24/03/2015) sekitar pukul 06.00 WIB di Rumah Sakit Graha Amerta, Surabaya, Jawa Timur. Pionir musik kontemporer Indonesia ini sebelumnya dirawat dan hendak menjalani operasi.
Kabar duka tersebut semula datang dari Swandayani Swan, yang merupakan anak dari pelukis besar Surabaya, Tedja Suminar.

“Telah meninggal dunia, komponis Indonesia, Slamet Abdul Sjukur pukul 06.00 di RS Graha Amerta, beliau sampaikan terima kasih sebesar-besarnya terhadap seluruh murid, teman dan sahabat2nya atas seluruh dukungan dan persahabatan yang tulus selama ini. Mhn dimaafkan atas segala kesalahan dan kekhilafan beliau selama hidup. Smg almarhum tenang dan damai di sisiNya,” tulis Swandayani di kolom status Facebooknya. Jenazah Slamet sudah dimakamkan setelah sebelumnya disemayamkan di jl Pirngadi no 3 depan SMK dekat Gereja Imanuel Bubutan, Surabaya.

Sehari sebelumnya, pada akun Twitter @SurabayaYouth, terpampang poster penggalangan dana yang dikelola oleh murid-murid Slamet, Gema Swaratyagita dan Jeanne Christine, untuk membantu Slamet menjalani operasi pangkal paha kanannya. Diketahui, ia mengalami patah tulang akibat terjatuh pada 9 Maret 2015 lalu di Surabaya. Namun, nyawanya tidak tertolong sebelum ia menjalani operasi bedah di Graha Amerta.

Utang Gilang Ramadhan
Meninggalnya komponis top ini menyisakan duka mendalam bagi keluarga dan rekan-rekannya. Drummer andal, Gilang Ramadhan (51) menyatakan penyesalannya karena masih berutang alias belum mengerjakan “pekerjaan rumah” (“PR”) yang diberikan oleh komponis Slamet Abdul Sjukur.“Saya merasa kehilangan dan menyesal karena saya ada ‘PR’ dari dia yang belum saya kerjakan,” kata Gilang seperti dikutip dari Kompas.

Semasa hidupnya Slamet meminta Gilang untuk memainkan tetabuhan pada sebuah komposisi yang ada dalam buku partitur Sluman Slumun Slamet karya Slamet.

“Saya udah dikasih bukunya, lalu saya bilang ke Om Slamet, ‘Om, saya latih dulu ya,’ terus Om Slamet bilang, ‘Ya, harus lah.’ Saya nyesel dan merasa kehilangan karena ada janji yang belum tuntas,” ungkap Gilang.

Gilang mengungkapkan pula, ketika mendengar kabar bahwa Slamet telah tiada, ia langsung membongkar bagasi untuk mengambil buku partitur tersebut.

“Tadi, pas denger beritanya, saya langsung bongkar bagasi buat ambil buku partitur itu, terus saya tunjukkan ke istri. Dia bilang, ‘Kamu sih nunda-nunda ngerjain itu’,” kisah suami dari pembawa acara Shahnaz Haque ini.

Untuk membayar utangnya tersebut, Gilang menyatakan akan membuat karya tribute untuk Slamet.

“Ya, saya merasa sebuah tribute buat Om Slamer itu sebuah keharusan, biar ada percontohan bagi orang Indobesia bahwa ada orang penting seperti Om Slamet. Kalau enggak ada, berarti orang Indonesia enggak care sama segala hal,” tutur ayah tiga anak ini.

Biografi singkat dan lengkap Slamet Abdul Sjukur

Slamet Abdul Sjukur lahir di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia, 30 Juni 1935. Karya-karyanya lebih banyak dinikmati di mancanegara, khususnya negara-negara Eropa, daripada di Indonesia. Almarhum semasa hidup mempunyai ide yang disebut minimaks, yaitu menciptakan musik dengan menggunakan bahan yang sederhana dan minim. Slamet pernah menuntut ilmu di Prancis dengan Olivier Messiaen dan Henri Dutilleux.

Nama awal Slamet Abdul Sjukur adalah Soekandar lalu diruwat menjadi Slamet Abdul Sjukur. Ibu kandung Slamet Abdul Sjukur bernama Canna (1917-1996) –keturunan Turki dan Eskimo, sedangkan ayahnya bernama Abdul Sjukur (1911-1990). Slamet Abdul Sjukur memiliki saudara perempuan bernama Soenaringsih yang diubah namanya menjadi Elisawati, dia empat tahun lebih muda. Istri pertama Slamet Abdul Sjukur adalah Siti Suharsini yang dikaruniai seorang anak perempuan bernama Tiring Mayang Sari (lahir tahun 1961). Dari hubungan asmaranya dengan Elisabeth Fauquet, lahir seorang anak perempuan bernama Stephanie (lahir 1961). Slamet Abdul Sjukur menikah dengan Francoise Mazurek, dikaruniai seorang anak bernama Svara (lahir 1979).

Beberapa karyanya ialah Ketut Candu, String Quartet I, Silence, Point Core, Parentheses I-II-III-IV-V-VI, Jakarta 450 Tahun, dan Daun Pulus.

Beberapa penghargaan yang telah diterima adalah: Bronze Medal dari Festival de Jeux d’Automne in Perancis (1974), Piringan Emas dari Académie Charles Cros di Perancis(1975, untuk karyanya berjudul Angklung) dan Medali Zoltán Kodály dari Hungaria (1983). Majalah Gatra juga memberinya anugerah sebagai pioner musik alternatif (1996) dan ia juga diangkat sebagai anggota Akademi Jakarta seumur hidup (2002). Pada tahun 2005, Slamet Abdul Sjukur dianugerahi penghargaan dari Gubernur Jawa Timur karena dedikasinya pada musik.

Beberapa nama yang menonjol yang sempat mengenyam ilmu darinya adalah Gilang Ramadhan, Franki Raden, dan Soe Tjen Marching.


Post a Comment

0 Comments